Pages

Minggu, 02 Juni 2013

Model Pembelajaran IPS SD

Model Pembelajaran IPS SD
------------------------
Model pembelajaran pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bagi murid sekolah dasar hendaknya sesuai dengan kebutuhan anak usia sekolah dasar yaitu antara 6 - 12 tahun, dimana anak-anak pada usia ini bagaikan kertas putih yang akan di tulis tinta oleh para pengajarnya yang akan berguna bagi mereka untuk dapat di terapkan dalam kehidupan mereka namun mudah untuk di mengerti oleh mereka karena pola pikir mereka yang masih sederhana yang hanya memikirkan hal-hal pada saat ini saja dan belum memikirkan untuk masa yang akan datang sehingga perlu untuk diterapkan model pembelajaran atau teknik yang dapat memungkinkan mereka untuk memahami hal ini.

Peranan pengajaran IPS begitu unik karena harus mendidik dan mempersiapkan para murid agar dapat hidup di dunianya dan memahami dunianya dimana di perlukan kualitas personal dan kualitas sosial yang merupakan hal penting,menurut A.K. Ellis (1991), bahwa alasan diajarkannya mata pelajaran IPS di sekolah adalah sebagai berikut :

1. IPS memberikan tempat abgi siswa untuk belajar dan mempraktekkan demokrasi
2. IPS dirancang untuk membantu siswa memahami "dunianya"
3. IPS adalah sarana untuk mengembangkan diri siswa secara positif
4. IPS membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan mendasar tentang sejarah, geographi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya
5. IPS meningkatkan kepekaan sosial siswa terhadap masalah-masalah sosial.

Berbagai cara dan teknik dikaji untuk memungkinkan konsep-konsep abstrak dapat dipahami murid, Bruner (1978) memberikan pemecahan berbentuk jembatan bailey untuk menkongkritkan yang abstrak itu dengan enactive, iconic, dan simbolic melalui percontihan dengan gerak tubuh,gambar, bagan, grafik, gerak tubuh, peta, grafik, lambang, atau elaborasi dalam kata yang dapat dipahami murid. Oleh karena itu mata pelajaran IPS menjelaskan dari hal-hal yang kongkrit kepada hal yang abstrak dengan pola pendekatan lingkungan yang semakin meluas, memulai yang mudah ke yang sukar, dari sempit ke yang luas dan dari yang dekat ke yang jauh: Individu, Keluarga,Tetangga, RT/RW, Desa, Kelurahan, Kabuapten/Kota, Propinsi, Negara, Negara Tetangga, Dunia.

Anak bukanlah replika orang dewasa dalam format kecil yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh yang murah, melainkan anak adalah entitas yang unik dan memiliki berbagai potensi yang masih latent yang memerlukan proses dan sentuhan-sentuhan tertentu dalam pengembangannya. Mereka memulai dari egosentrisme dan berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu yang semakin meluas dan mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang berbentuk intervensi dalam dunianya. Oleh karena itu pendidikan IPS adalah salah satu upaya yang akan membawa kesadaran ruang, waktu, dan lingkungan bagi anak (Farris and Cooper , 1994 : 46).

Ada sejumlah pengertian kurikulum menurut para ahli, namun pada umumnya kurikulum terkait dengan pengalaman yang harus dikuasai dan rencana serta target yang perlu di capai. Dalam standar kompetensi kelulusan dikemukakan bahwa kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri. Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat. Kurikulum di kembangkan berdasarkan atas :

1. berpusat dari potensi, perkembangan, kebutuhan, kepentingan murid dan lingkungannya
2. beragam dan terpadu
3. tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4. relevan dengan kebutuhan kehidupan
5. menyeluruh dan berkesinambungan
6. belajar sepanjang hayat
7. seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
ruang lingkup pelajaran IPS meliputi aspek-aspek berikut :
1. Manusia, Tempat, dan Lingkungan
2. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan
3. Sistem Sosial dan Budaya
4. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan

Setiap kegiatan pembelajaran memerlukan persiapan yang berbeda-beda, tidak ada satu persiapan yang bisa digunakan untuk segala situasi, setiap topik dan setiap kompetensi yang akan di capai memerlukan persiapan yang berbeda-beda. Perencanaan pengajaran IPS diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media, penggunaan pendekatan dan metode, dan penilaian pengajaran IPS dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Perencanaan pembelajaran bisa dibuat dalam bentuk Unit pelajaran atau satuan pelajaran. Model satuan pelajaran adalah bagian dari persiapan pembelajaran dalam unit yang terkecil. Rencana pembelajaran mengandung tiga komponen yaitu :
(1) Tujuan pengajaran,
(2) materi pelajaran/bahan ajar, pendekatan dan metode mengajar, media pengajaran dan pengalaman mengajar; dan
(3) evaluasi keberhasilan. Tidak ada format baku dalam penyusunan persiapan mengajar. Oleh karena itu guru diharapkan dapat mengembangkan format-format baru. Sesuai dengan tahapan pegembangan anak, karakteristik cara anak belajar, konsep belajar dan pembelajaran bermakna, maka kegiatan pembelajaran bagi anak kelas awal SD sebaiknya dilakukan denagn pembelajaran tematik.
Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajari.
Melalui pengalaman langsung siswa akan memahami konsep-konsep yang ,mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahami.

Untuk melatih tingkat kognitif yang levelnya lebih tinggi dapat digunakan pembelajaran dengan inquiry. Pembelajaran dengan inquiry adalah pengajaran yang membantu siswa untuk menguji pertanyaan-pertanyaan, issu-issu, atau masalah yang dihadapi siswa sekaligus menjadi perhatian guru. Pembelajaran cooperative learning merupakan model pembelajaran dimana secara teknik menggunakan asas kerjasama dalam sebuah kelompok belajar. Teknik pembelajaran ini diterapkan dalam kelas diman siswa dalam satu kelas di bagi dalam kelompok kecil 4 - 6 orang atau lebih saling berpasangan untuk bertukar pendapat serta saling membantu satu sama lain dalam rangka mencapai kompetensi yang telah ditentukan.

Media pembelajaran adalah sarana yang membantu para pengajar. Pengajar juga perlu sadar bahwa tidak semua anak senang dengan peragaan media. Jenis media yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran materi IPS diantaranya :

1. Hal-hal yang bersifat visual, seperti bagan, matrik, gambar, flip chart, flanel, data dll
2. Suara (audio) baik suara guru ataupun suara kaset
3. Suara yang disertai visualisasi (audio-visual) seperti tayangan televisi, film, video, dsb
4. Hal-hal yang bersifat materil, seperti model-model, benda contoh dll
5. Gerak, sikap, dan perilaku seperti simulasi, bermain peran dll
6. Barang cetakan seperti buku, surat kabar, majalah, jurnal, dan brosur.
7. Peristiwa atau cerita kasus yang mengandung dilema moral.

------------------------
Ada tiga pokok konsep yang perlu mendapat penjelasan dalam pembahasan ini.
1. Apa keterampilan berpikir kritis itu?
2. Bagaimana mengajarkan keterampilan berpikir kritis kepada siswa?
3. Mengapa perlu keterampilan berpikir kritis untuk siswa?

Tiga pertanyaan ini sekaligus akan memandu kita dalam memahami keterampilan berpikir kritis untuk pembelajarn IPS.
Johnson (1992) merumuskan istilah “berpikir kritis” (critical thinking) secara etimologi. Ia menyatakan bahwa kata “critical” berasal dari “krinein”, yang berarti “menaksir nilai sesuatu”. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kritik adalah perbuatan seorang yang mempertimbangkan, menghargai, dan menaksir nilai suatu hal. Tugas orang yang berpikir kritis adalah menerapkan norma dan standar yang tepat terhadap suatu hasil dan mempertimbangkan nilainya – dan mengartikulasikan pertimbangan tersebut.
Selanjutnya, Johnson (1992) merangkum beberapa definisi critical thinking dari beberapa ahli, seperti Ennis (1987, 1989), Lipman (1988), Siegel (1988), Paul (1989), dan McPeck (1981), yang disebut juga “the Group of Five”. Ia menyimpulkan bahwa ada tiga persetujuan substansi dari kemampuan berpikir kritik. Pertama, berpikir kritis memerlukan sejumlah kemampuan kognitif; kedua, berpikir kritis memerlukan sejumlah informasi dan pengetahuan; dan ketiga, berpikir kritis mencakup dimensi afektif yang semuanya menjelaskan dan menekankan secara berbeda-beda.
Ennis (1987) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan istilah yang digunakan untuk suatu aktivitas reflektif untuk mencapai tujuan yang memuat keyakinan dan prilaku yang rasional. Ia pun telah mengidentifikasi lima kunci unsure berpikir kritis, yakni “praktis, reflektif, rasional,terpercaya, dan berupa tindakan”. Dengan didasari oleh pemikiran inilah, ia merumuskan suatu definisi bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir secara reflektif dan rasional yang difokuskan pada penentuan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Definisi ini lebih menekankan pada bagaimana membuat keputusan atau pertimbangan-pertimbangan.
Tujuan berpikir kritis adalah untuk menilai suatu pemikian, menaksir nilai dan bahkan mengevaluasi pelaksanaan atau praktik dari suatu pemikiran dan nilai tersebut. Selain itu, berpikir kritis meliputi aktivitas mempertimbangkan berdasarkan pada pendapat yang diketahui. Menurut Lipman (1988), layaknya pertimbangan-pertimbangan ini hendaknya didukung oleh krtiteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berpikir kritis mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru, terkadang, pembelajaran berpikir kritis erat kaitannya dengan berpikir kreatif. Apabila keterampilan berpikir kritis dilakukan maka sebagian dari pembelajaran bepikir kreatif telah dijalani karena tahap pertama untuk melakukan keterampilan berpikir kritis harus melalui keterampilan berpikir kreatif. Savage and Armstrong (1996) mengemukakan bahwa tahap awal sebagai syarat untuk memasuki sikap berpikir kritis adalah adanya sikap siswa memunculkan ide-ide atau pemikiran-pemikiran baru. Tahap ini disebut pula tahap berpikir kreatif. Tahap kedua, siswa membuat pertimbangan atau penilaian atau taksiran berdasarkan kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan. Tahap kedua inilah yang dikategorikan sebagai tahap berpikir kritis.
Pada saat ini sejumlah teori dan model pengajaran berpikir kritis telah meliputi pendekatan, strategi, perencanaan dan sikap siswa dalam berpikir kritis, telah dijelaskan oleh para ahli studi sosial di Amerika Serikat, seperti Wilen (1995), beyer (1985), and Fraenkel (1980). Wilen (1995) memperkenalkan suatu pendekatan metacognitif dalam pengajaran berpikir kritis untuk studi sosial. Menurut Wilen, pendekatan metacognitif merupakan suatu cara alternatif untuk mengajar keterampilan berpikir kritis.
Beyer menegaskan bahwa ada seperangkat keterampilan berpikir kritis yang dapat digunakan dalam studi sosial atau untuk pembelajaran disiplin ilmu-ilmu sosial. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Membedakan fakta dan nilai dari suatu pendapat .
2. Menentukan reliabilitas sumber.
3. Menentukan akurasi fakta dari suatu pernyataan.
4. Membedakan informasi yang relevan dari yang tidak relevan.
5. Mendeteksi penyimpangan.
6. Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan.
7. Mengidentifikasi tuntunan dan agumen yang tidak jelas atau samar-samar.
8. Mengakui perbuatan yang keliru dan tidak konsisten.
9. Membedakan antara pendapat yang tidak dan dapat dipertanggungjawabkan.
10. Menentukan kekuatan argument.

Menurut Beyer, sepuluh kunci keterampilan yang ditampilkan di atas merupakan hasil consensus dari sejumlah pakar studi sosial, hasil penelitian dalam proses belajar mengajar, dan pengalaman di ruang kelas. Semua keterampilan ini telah digunakan di dalam penelitian sebagai indikator dalam observasi dan penelitian kemampuan berpikir kritis yang diterapkan oleh para guru studi sosial, khususnya dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan inkuiri.
Selanjutnya, Beyer memperkenalkan strategi kecakapan berpikir kritis yang cukup efektif untuk proses belajar mengajar,ialah strategi induktif yang bersifat direktif. Ada dua strategi yang dapat digunakan alternatif dalam menentukan apakah strategi-strategi ini dapat digunakan lebih efektif dibandingkan dengan kelas studi sosial lainnya. Menurut Beyer, strategi induktif merupakan cara untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam mengartikulasikan atribut-atribut berpikir kritis yang telah diajarkan. Penerapan strategi ini mencakup lima langkah yang dapat ditempuh oleh guru:
1. Memperkenalkan keterampilan; dan kemudian siswa;
2. Mencobakan keterampilan sebaik mungkin;
3. Menggambarkan serta mengartikulasikan apa yang terjadi dalam pikiran ketika menerapkan keterampilan tersebut;
4. Menerapkan pengetahuan tentang keterampilan baru untuk diterapkan lagi, dan akhirnya;
5. Meninjau lagi apa yang terpikir ketika keterampilan itu diterapkan.
Strategi direktif member kesempatan kepada siswa untuk menguasai dan memahami betul komponen keterampilan tersebut sejak permulaan. Strategi ini dapat digunakan apabila keterampilan berpikir itu agak kompleks sehingga para siswa memerlukan bimbingan khusus. Beyer mengajukan sejumlah rekomendasi bahwa untuk menggunakan strategi ini, guru melakukan langkah-langkah berikut:
1. Memperkenalkan keterampilan berpikir kritis;
2. Menjelaskan prosedur dan aturan ketrampilan;
3. Menunjukkan bagaimana keterampilan itu digunakan dan kemudian siswa;
4. Menerapkan keterampilan tersebut mengikuti langkah dan aturan yang jelas;
5. Menggambarkan tentang apa yang terjadi dalam pikiran siswa ketika keterampilan itu diterapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Night Diamond - Link Select