BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian IPS
Menurut
Ischak, dkk (2005: 1.36), IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah,
menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari
berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan. Sifat IPS sama dengan Studi Social
yaitu praktis, interdisipliner dan dianjurkan mulai dari pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi.
Rumusan
tentang pengertian IPS telah banyak dikemukakan oleh para ahli IPS atau Social Studies.
Berikut pengertian IPS yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan dan IPS
di Indonesia.
a.
Moeljono Cokrodikardjo mengemukakan bahwa IPS adalah
perwujudan dari suatu pendekatan interdisipliner dari ilmu sosial. IPS
merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial yakni sosiologi,
antropologi, budaya, psikologi, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik dan
ekologi manusia, yang diformulasikan untuk tujuan instruksional dengan materi
dan tujuan yang disederhanakan agar mudah dipelajari.
b.
Nu’man Soemantri menyatakan bahwa IPS merupakan
pelajaran ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD,
SLTP, dan SLTA. Penyederhanaan mengandung arti: a) menurunkan tingkat kesukaran
ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di universitas menjadi pelajaran yang
sesuai dengan kematangan berfikir siswa sekolah dasar dan lanjutan, b)
mempertautkan dan memadukan bahan aneka cabang ilmu-ilmu sosial dan kehidupan
masyarakat sehingga menjadi pelajaran yang mudah dicerna.
c.
S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang
merupakan fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa IPS
merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan peran manusia dalam
masyarakat yang terdiri atas berbagai subjek sejarah, ekonomi, geografi,
sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial.
Dengan
demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS yang
dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada pendidikan tinggi tidak
menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, tetapi aspek praktis dalam
mempelajari, menelaah, mengkaji gejala, dan masalah sosial masyarakat, yang
bobot dan keluasannya disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing.
Kajian tentang masyarakat dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang
terbatas, yaitu lingkungan sekitar sekolah atau siswa atau dalam lingkungan
yang luas, yaitu lingkungan negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun
di masa lampau. Dengan demikian siswa yang mempelajari IPS dapat menghayati
masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa lampau umat manusia.
Paradigma IPS
IPS
merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau manusia, dan merupakan
ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu sosial. Ada tiga istilah yang
termasuk bidang pengetahuan sosial yang terkadang membuat kita bingung dengan
istilah – istilah ini, yaitu: Ilmu Sosial ( Social
Sciences ), Studi Sosial ( Social
Studies ), dan Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ). Selain istilah tersebut ada juga istilah yang kadang-kadang
digunakan dalam menyebut bidang studi IPS, yaitu: Social Education dan Social
Learning, yang menurut Cheppy kedua istilah tersebut lebih menitik beratkan
kepada berbagai pengalaman disekolah yang dipandang dapat membantu anak didik
untuk lebih mampu bergaul di tengah-tengah masyarakat.
a. Ilmu
Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi
memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai
berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang
bertaraf akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin
lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross
(Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang
mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada
manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia
bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa
Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu
Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari
manusia sebagai anggota masyarakat.
IIS lebih
menitik beratkan kepada interdisiplin pada suatu bidang studi kajian disatu
disiplin ilmu, seperti contoh pada disiplin ilmu Antropologi.
- Studi
Sosial (Social Studies).
Berbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang
keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang
pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad
Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu
bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi
siswa sejak pendidikan dasar dan dapat berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan
kepada disiplin-disiplin ilmu sosial.
Studi Sosial
bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin bidang akademis, melainkan
lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah sosial yang
terjadi pada masyarakat.
Studi Sosial menurut Achmad Sanusi:
“Adapun Studi Sosial tidak selalu
bertaraf akademis-universiter, bahkan dapat merupakan bahan-bahan pelajaran
bagi murid-murid sejak pendidikan dasar, dan dapat berfungsi selanjutnya
sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin Ilmu Sosial. Studi
Sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul atau
masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan meninjaunya
dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan yang ada satu dengan
lainnya. Sesuatu acara ditinjau dari beberapa sudut komprehensif mungkin.”
Studi Sosial menurut John Jarolimek:
“Tugas Studi Sosial sebagai suatu bidang
studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, dengan tujuan membina warga masyarakat yang mampu menyelaraskan
kehidupannya berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan social, serta membantu
melahirkan kemampuan memecahkan masalah-masalah social yang dihadapainya. Jadi,
baik materi maupun metode pembelajaran penyajiannya harus sesuai dengan misi
yang diembannya.”
- Pengetahuan
Sosial (IPS)
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980: 8)
memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner
(Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi
dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya,
psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal
ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS merupakan hasil
kombinasi atau hasil perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi,
ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
IPS lebih
menitik beratkan kepada pendekatan multidisipliner atau interdisipliner, dimana topik-topik
dalam IPS dapat dimanipulasi menjadi suatu isu, pertanyaan atau permasalahan
yang berperspektif interdisiplin.
Ilmu pengetahuan IPS yg dikenal di Indonesia bukan Ilmu
Sosial. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS pada berbagai tingkat
pendidikan tidak akan menekankan pada
aspek teoritis keilmuannya, melainkan lebih menekankan kepada segi praktis
mempelajari, menelaah serta mengkaji gejala dan masalah sosial dengan
mempertimbangkan bobot dan tingkatan peserta didik pada tiap jenjang.
Pendekaatan
yang dilakukan Studi Sosial sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa
digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan Studi Sosial bersifat interdisipliner
atau multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Sedangkan
pendekatan yang digunakan dalam Ilmu Sosial ( Social Sciences ) bersifat disipliner dari bidang ilmunya
masing-masing.
Terdapat sejumlah perbedaan antara Ilmu
Pengetahuan Sosial ( IPS ) sebagai
bidang studi dengan Ilmu-Ilmu Sosial ( IIS
) sebagai disiplin ilmu:
1. IPS
sebagai disiplin ilmu seperti IIS, tetapi IPS lebih tepat sebagai suatu kajian
karena dalam IPS terdapat berbagai macam disiplin ilmu social ( Sejarah,
Geografi, Ekonomi, Antropologi, Ilmu Pemerintahan & Politik )
2. Pendekatan yang dilakukan IPS adalah melalui multidisipliner atau
interdisipliner. Tidak seperti IIS yang menggunakan pendekatan disiplin Ilmu
atau monodisiplin ( memfokuskan dalam satu bidang ilmu
saja ).
3. IPS
sengaja dirancang untuk kepentingan kependidikan, oleh karena itu keberadaan IPS lebih
memfokuskan kepada dunia persekolahan, Perguruan Tinggi, atau dipelajari di
masyarakat umum sekalipun.
4. IPS disamping menggunakan IIS sebagai bahan pengembangan
materi pembelajaran dilengkapi dengan mempertimbangkan aspek
psikologis-pedagogis.
Konsep “Social Studies” secara umum berkembang di
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah menujukkan reputasi
akademis dalam bidang sosial, seperti dengan berdirinya National Council for
The Social Studies (NCSS) pada tanggal 20-30 November 1935. dalam pertemuan
ini, disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum” yaitu
menempatkan bahwa social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada tahun
1937, pilar historis-epiostemologis, social studies yang pertama, berupa suatu
definisi tentang “social studies” yang berawal dari Edgar Bruce Wesley yaitu
The Social Studies Are The Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose yang
artinya bahwa “The Social Studies” adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan
untuk tujuan pendidikan. Kemudian dikembangkan bahwa social studies berisikan
aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi,
psikologi, ilmu geografi dan filsafat. Berdasarkan pengamatan Edgar Bruce
Wesley selama 40-an tahun bahwa bahwa bidang social studies mengalami
perkembangan dengan adanya ketakmenentuanm ketakberkeputusan, ketakbersatuan,
dan ketakmajuan terutama pada tahun 1940-1970-an.
Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit
dalam menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies”
mendapat serangan dari segala penjuru yang pada dasarnya berkisar pada
pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap
demokratis kepada para pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan akademis
yang mendasar dalam pendidikanm, yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu
revolusi dalam bidang social studies yang dipelopori oleh para sejarawan dan
ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini terpikat oleh “social
studies” karena pada saat pemerintahan federal menyediakan dana yang sangat
besar untuk pengembangan kurikulum. Dengan dana ini, para ahli bekerja sama
untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat
inovatif dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut dikenal
sebagai gerakan “The New Social Studies”.
Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan
untuk mendapatkan The New Social Studies ini belum menjadi kenyataan. Isu yang
terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi,
tujuan pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian mengenai isi
pembelajaran. Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara dua visi
social studies, disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai
disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education dan di lain pihak terus
bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung
memperlemah konsepsi social studies education. Hal ini merupakan dampak dari
berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah,
terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu,
merupakan dampak dari opini publik berkaitan dengan perang dunia II, perang
dingin, dan perang korea serta kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan
John Dewey tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik
pendidikan persekolahan.
Gerakan The New Social Studies yang menjadi pilar dari
perkembangan Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan bahwa
“Social Studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam mengajarkan
substansi dan mempengaruhi perubahan siswa. Oleh karena itu, sejarawan dan
ahli-ahli ilmu sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan Social Studies
kepada taraf higher level of Intellectual Pursuit yakni mempelajari ilmu sosial
secara mendasar. Dengan orientasi tersebut maka dimulailah era modus
pembelajaran Social Studies Education. Dari berbagai pandangan mendorong
timbulnya upaya mentransformasikan “Social Studies” ke dalam “Social Science”
dan mengajarkan sebagai disiplin Akademik yang terpisah. Gerakan inilai yang mendorong
berdirinya The Social Science Education Concortium ( SSEC ) yang kemudian menerbitkan bukunya yang pertama Concept and
Structure in The New Social Studies Curriculum.
Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari orientasi
pada disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari
hubungan interdisipliner. Definisi “Social Studies” dan pengidentifikasian
“Social Studies” atas tiga tradisi pedagogis dianggap sebagai pilar utama dari
“Social Studies” pada tahun 1970-an. Dalam definisi tersebut tersirat dan
tersurat beberapa hal yaitu pertama Social Studies merupakan suatu sistem
pengetahuan terpadu, kedua misi utama Social Studies adalah pendidikan
kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis, ketiga sumber utama
kontek Social Studies adalah social sciences dan humanities, keempat dalam
upaya penyiapan warga negara yang demokratis (Barr dkk, 1978) pada tahun
1980-1990-an pemikiran mengenal Social Studies yang sebelumnya dilanda masalah,
secara konseptual telah dapat diatasi.
Dilihat
dari karakteristik dan tujuannya, Social Studies Education atau Social Studies
yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan
kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic Responsibility and Active Civic
Participation sebagai salah satu esensinya. Pada tahun 1992, The Board of
Directors of The National Council fot The Social Studies mengadopsi visi
terbaru mengenai Social Studies yang kemudian diterbitkan dalam dokumen resmi
NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectations of Excellence; Curricullum
Standars for Social Studies.
Paradigma Pendidikan IPS Indonesia
Karena dua hal yaitu di Indonesia belum ada lembaga
professional bidang IPS sekuat pengaruh NSCC atau SSEC dan pembelajaran IPS
sangat tergantung pada pemikiran individual atau kelompok pakar. Istilah IPS (
Ilmu Pengetahuan Sosial ), untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional
tentang Civic Education tahun 1972 di
Tawangmangu Solo. Konsep IPS pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan
pada tahun 1972-1973 yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
( PPSP ) IKIP Bandung. Dalam
kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah, pendidikan kewarganegaraan /
Social Studies sebagai mata pelajaran rofes terpadu.
Dalam kurikulum 1975
Pendidikan IPS menampilkan empat profil yaitu:
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan pendidikan
kewarganegaraan yang mewadahi tradisi “Citizenship transmission”
2.
Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3.
Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP
4.
Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, geografi dan ekonomi untuk SMA
Perkembangan
Kurikulum di Negara kita dimulai pada:
-
Tahun 1975 => Dimana PPSP tidak memasuki
antropologi, sosiiologi, ilmu pemerintahan.
-
Tahun 1984 => Mencakup disiplin pemerintahan dan
politik, Pendidikan Moral dan Pancasila ( PMP
), dimana sosiologi dan antropologi berlaku di SLTP-SLTA.
-
Tahun 1994 => “Ilmu Sosiologi dan Antropologi” CBSA
-
Tahun 2004 => Bersifat tematik.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS nampaknya
telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah, yakni Pertemuan
HISPISI ( Himpunan Sarjana Pendidikan IPS
Indonesia ) pertama tahun 1989 di Bandung, Forum Komunikasi Pimpinan HIPS di
Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, M.
Numan Somantri selaku pakar dan Ketua HISPISI (Somantri: 1993) kembali
menegaskan dalam pertemuan Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut:
Versi PIPS untuk pendidikan Dasar dan Menengah:
PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin
ilmu-ilmu social dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia, yang diorhanisir
dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP:
PIPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu social dan
humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara
ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
Kelihatannya HISPISI ingin mencoba nenjernihkan
pengertian PIPS dengan cara menggunakan dua label yang sama yakni PIPS, tetapi
dengan dua versi pengertian, yakni pengertian PIPS untuk pendidikan
persekolahan dan untuk pendidikan tinggi untuk guru IPS di IKIP/STKIP/FKIP.
Kedua versi pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan sampai dengan
pertemuan Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri,1998:58),
dan disepakati akan menjadi salah satu esensi dari position paper HISPISI tentang disiplin PIPS yang akan diajukan
kepada LIPI.
Jika dilihat dari pokok-pokok pikiran yang diajukan
oleh Numan Somantri selaku ketua HISPISI (Somantri: 1998) “Position Paper” itu
akan menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic discipline atau menurut Hartoonian (1992) sebagai integrated system of knowledge.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di
Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yaitu:
Pertama, PIPS
untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari
ilmu-ilmu rofes dan humaniora yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk
tujuan pendidikan persekolahan
Kedua, PDIPS
untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang merupakan penyeleksian secara
ilmiah dan meta psikopedagogis dari ilmu social, humaniora dan disiplin lain
yang relevan untuk tujuan pendidikan rofessional guru IPS. PIPS merupakan salah
satu konten dalam PDIPS.
PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua
versi atau tradisi akademik pedagogis, yakni:
Pertama, PIPS
dalam tradisi citizenship transmission dalam
bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah
Indonesia
Kedua, PIPS
dalam tradisi social science dalam
bentuk mata pelajaran IPS terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS
terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU.
Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi
pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan
UU No.9/1998 tentang system Pendidikan Nasional.
Paradigma Perkembangan Pengetahuan Dalam Bidang PDIPS
Hal yang
dimaksud dengan paradigma atau paradigma adalah accepted pattern or model: (Kuhn: 1970). Secara operasional paradigma
pembangunan pengetahuan dalam bidang PDIPS diartikan sebagai pola pikir, pola
sikap, dan pola tindakan yang tertata secara utuh yang seyogianya digunakan
oleh para pakar atau ilmuwan PDIPS dalam melakukan kegiatan “konstruksi,
Iterpretasi, Transformasi, dan Rekonstruksi (KITR)” pengetahuan sampai pada
akhirnya ditemukan teori (Sanusi, 1998:19).
Apabila
rangkaian kegiatan itu dilakukan dengan semangat dan komitmen keilmuan yang
tepat, akan menghasilkan suatu system pengetahuan baru. Dengan menggunakan visi
dinamis dari perkembangan ilmu tersebut maka tumbuhnya system pengetahuan yang
baru yang kemudian berkembang menjadi disiplin baru, bukanlah sesuatu yang
aneh, tetapi justru merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
BAB III
PENUTUP
Konsep pendidikan
IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “Social Studies” di
Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki penaglaman panjang dan
reputasi akademis yang signifikan dalam bidang sosial. Seperti karya akademis
yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies ( NCSS ).
Konsep IPS
untuk pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973,
yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan ( PPSP ) IKIP Bandung. Dalam kurikulum
1975 menampilkan empat profil yakni:
1) Pendidikan
Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara;
2) Pendidikan
terpadu untuk Sekolah Dasar;
3) Pendidikan
IPS terkonvederansi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang
menaungi mata pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi Koperasi; dan
4) Pendidikan
IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi
untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Dilihat
dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan
IPS terpilah dalam dua versi, yaitu:
PIPS untuk dunia persekolahan yang
pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang
diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan
PDIPS untuk
perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang merupakan penyeleksian secara ilmiah
dan psikologis dari ilmu sosial humaniora dan disiplin lain yang relevan untuk
tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam
PDIPS.
DAFTAR PUSTAKA
Winata, HUS. (2000). Pendidikasn Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas
Terbuka
Saripudin, U W. (1989). Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Sosial di
Sekolah Menengah. Jakarta: Depdikbud, Dikjen Dikti. Proyek Pengembangan
LPTK.
Myers, C. B. et.al. (2000). National Standards for Social Studies
Teacher 1. Washington DC: National Caouncil for The Social Studies.
Myers, C. B. et.al. (2000). National Standards for Social Studies
Teachers 2. Program Standards for The Initial preparation of Social Studies
Teachers, Washington DC: national Council for The Social Studies.